Pernahkan Anda melihat seekor ulat bulu? Bagi kebanyakan orang, ulat burlu memang menjijikkan bahkan menakutkan. Tapi tahukah Anda kalau masa hidup seekor ulat ini ternyata tidak lama. Pada saatnya nanti ia akan mengalami fase dimana ia harus masulk ke dalam kepompong selama beberapa hari. Setelah itu ia pun akan keluar dalam wujud lain : ia menjelma menjadi seekor kupu-kupu yang sangat indah. Jika sudah berbentuk demikian, siapa yang tidak menyukai kupu-kupu dengan sayapnya yang beraneka hiasan indah alami? Sebagian orang bahkan mungkin mencari dan kemudian mengoleksinya bagi sebagai hobi (hiasan) ataupun untuk keperluan ilmu pengetahuan.
Jika proses metamorfosa pada ulat ini diterjemahkan ke dalam kehidupan manusia, maka saat dimana manusia dapat menjelma menjadi insan yang jauh lebih indah, momen yang paling tepat untuk terlahir kemabli adalah ketika memasuki Ramadhan. Bila kita masuk ke dalam 'kepompong' Ramadhan, lalu segala aktivitas kita cocok dengan ketentuan-ketentuan "metamorfosa" dari Allah, niscaya akan mendapatkan hasil yang mencengangkan yakni manusia yang berderajat muttaqin, yang memiliki akhlak yang indah dan mempesona.
Macam-macam Bahasa Aceh
Bahasa Aceh
Diantara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi NAD, bahasa Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya, yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi NAD. Penutur bahasa Aceh tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang, Tangan-tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan. Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita dapati juga sebahagian kecil masyarakatnya yang berbahasa Aceh. Selain itu, di luar provinsi NAD, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney di Australia.
Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten Aceh Tengah, sebahagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.
Bahasa Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di lima kecamatan, yaitu kecamatan Lawe Sigala-gala, Lawe Alas, Bambel, Babussalam, dan Bandar.
Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh Timur), kecuali di kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.
Bahasa Aneuk Jamee
Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee. Di Kabupaten Aceh Barat Daya bahasa ini terutama dituturkan di Susoh, sebagian Blang Pidie dan Manggeng. Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang paling banyak dituturkan sebagai lingua franca, antara lain Labuhan Haji, Samadua, Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di kecamatan Meureubo (Desa Peunaga Rayek, Ranto Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Gunong Kleng), serta di kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari asimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai barat-selatan Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh. Sebutan Aneuk Jamee (yang secara harfiah bermakna ‘anak tamu’, atau ‘bangsa pendatang’) yang dinisbahkan pada suku/bahasa ini adalah refleksi dari sikap keterbukaan dan budaya memuliakan tamu masyarakat aceh setempat. Bahasa ini dapat disebut sebagai variant dari bahasa Minang.
Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk bahasa ini. Barangkali masyarakat penutur bahasa Kluet dapat mengambil semangat dari PKA-4 ini untuk mulai menuliskan sesuatu dalam bahasa daerah Kluet, sehingga suatu saat nanti masyarakat dapat dengan mudah mendapatkan buku-buku dalam bahasa Kluet baik dalam bentuk buku pelajaran bahasa, cerita-cerita pendek, dan bahkan puisi.
Bahasa Singkil
Seperti halnya bahasa Kluet, informasi tentang bahasa Singkil, terutama sekali dalam bentuk penerbitan, masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di kabupaten Singkil. Dikatakan sebahagian karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam. Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan Banyak, mereka menggunakan bahasa Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain bahasa Indonesia. Dari sudut pandang ilmu linguistik, masyarakat Singkil adalah satu-satunya kelompok masyarakat di provinsi NAD yang paling pluralistik dalam hal penggunaan bahasa.
Bahasa Haloban
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh masyarakat di kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit dan jika uapaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.
Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina Bahasa Simeulue, menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di kabupaten Simeulue kita jumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah bahasa di pulau Simeulue. misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah kecamatan Simeulue Timur, Simeulue Tengah dan di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kecataman Simeulue Barat dan kecamatan Salang.
Malam itu basah. Rerintik gerimis mencium bumi, kadang tersangkut di pucuk ilalang dan dedaunan. Duabelas pemuda duduk seten¬gah melingkar di atas panggung open stage Taman Budaya Banda Aceh. Mereka mengenakan baju serba hitam yang dipadukan dengan kain sarung kuning bergaris hijau dan merah yang diikat seping¬gang. Sebagian dari pemuda duapuluh-an itu meng¬gunakan ikat kepala warna merah, sebagian lagi warna hitam. Kepala mereka oleng ke kanan dan kiri mengikuti irama rapa’i yang mereka tabuh.
Di samping paling ujung sebelah kanan, terlihat dua lelaki yang lebih tua. Satu di antaranya terlihat mengusap bilah-bilah rencong dan besi pa¬hat. Mulut lelaki itu terkatup rapat, tapi dia terlihat seperti sedang menggumamkan sesuatu bacaan. Itu terlihat dari gerak bola matanya yang sesekali nyalang, sesekali pula lembut memandang besi yang diusapnya. Sementara seorang lagi melantunkan irama ayat-ayat suci. Dia memulai ucapan dengan Bismillah, lalu salam, kemudian mengucap permo¬honan maaf kepada sejumlah orang yang menonton dari bawah panggung.
“Ini hanya sebuah kesenian, tolong izinkan kami bermain. Jangan ganggu kami. Semua yang kami lakukan di atas sini hanya dengan izin Allah,” ujar lelaki yang disapa dengan ceh dabôh itu.
Sekejap kemudian seorang lelaki mengambil dua bilah rencong yang sudah diusap si kakek, lalu menusukkannya ke paha dan tangannya sendiri. Tak ada luka, tak ada darah, tak ada rintihan, apalagi erangan. Malah sebaliknya, rencong itu bengkok, satu di antaranya patah dua.
“Bukan anak Aceh Selatan kalau tidak kebal,” pekik lelaki tadi sembari membakar sepotong kayu sebesar kelingking. Setelah kayu itu hangus hampir menjadi arang, lelaki tadi memasukkannya ke dalam mulutnya. Dia kunyah kayu yang masih membara¬kan api itu hingga halus, lalu menelannya.
Tak puas dengan adegan yang membuat jan¬tung penonton berdebar-debar, si lelaki yang disapa ceh tadi menghidupkan mesin bor. “Kita akan lihat kebesaran Allah malam ini. Saya akan bor perut saya,” ujarnya.
Mata bor berputar kencang di samping pusat si lelaki, sesekali masuk ke dalam lubang pusat. Pe¬rut lelaki itu bergoyang-goyang, namun seperti tadi, tak ada luka, apalagi darah. Sungguh menakjub¬kan. Ternyata adegan yang sulit dipercaya itu belum membuat dia puas, kendati sejumlah penonton–terutama perempuan–ada yang menutup mulut dan mata, tak tahan menyaksikan adegan tersebut.
Demikianlah sekilas pertunjukkan kesenian debus yang diperagakan sejumlah pemuda dari Aceh Selatan dalam memperingati Hari Kesenian Aceh oleh Dewan Kesenian Aceh, Agustus 2007 silam. Pertunjukkan serupa juga pernah dilakukan oleh JKMA Bumoe Teuku Cut Ali dalam Kongres II JKMA Aceh, April lalu. Rerumputan basah di lapangan bola kaki Blang Mee menjadi saksi waktu itu untuk menyatakan kesekiankalinya bahwa wilayah Barat-Selatan Aceh, terkenal dengan debus dan kebalnya.
Kemasyhuran Aceh Selatan dengan debusnya semakin terlihat dengan beberapa kali memenangi kompetisi kesenian bela diri tersebut, baik tingkat provinsi maupun tingkat nasional. Tingkat provinsi dapat dibuktikan dengan membuka kembali lemba¬ran pesta kebudayaan Aceh yang kita sebut dengan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Setiap PKA, debus dari Aceh Selatan selalu mengambil posisi teratas.
Muhasibidan Keumala Sakti
Berbicara masalah debus, kita akan teringat dengan kata “kebal”. Di Aceh Selatan, jika berbicara debus, kita akan diingatkan dengan nama Muhasibi dan Keumala Sakti. Berbicara masalah kebal, maka nama Muhasibi tak dapat dielakkan di Kota Naga itu.
Menurut pengakuan Muhasibi—ceh sekaligus pemain debus asal Kota Naga Aceh Selatan, anak Aceh Selatan pada zaman dahulu memang selalu dibekali ilmu bela diri oleh orang tuanya sebelum pergi merantau. Ilmu bela diri dimaksud bisa ber¬bentuk silat (silek dalam bahasa Aceh Selatan) atau ilmu kebal.
“Pada zaman dahulu, Anak Aceh Selatan kalau belum punya ilmu bela diri, dia tidak akan di¬izinkan orang tuanya merantau. Kalau sudah cukup umur, dia akan dibekali ilmu bela diri, meskipun sedikit, sekadar pageue tubôh untuk melindungi diri selama di perantauan,” ungkap putra Aceh Selatan itu kepada tuhoe.
Setiap anak Aceh Selatan yang hendak pergi merantau, lanjut Muhasibi, akan diseleksi terlebi¬hdahulu oleh grup rapa’i daboh. Di sana mereka dilatih, dibina, dan dibimbing. Setelah diyakini bisa melindungi diri, barulah dia diperkenankan meran¬tau.
“Sebelumnya, debus atau daboh ini diguna¬kan orang untuk berperang. Karena ada kearifan di Aceh Selatan, setiap yang merantau bisa ilmu bela diri dan kebal, timbullah imej di masyarakat luar bahwa anak Aceh Selatan banyak mistiknya, seh¬ingga penjajah pun takut masa itu,” papar Muhasibi.
Dari tradisi seperti itu, akhirnya debus men¬jadi sebuah kesenian. Pada mulanya kesenian tra¬disional ini dimainkan dengan menggunakan rapa’i dan sambil duduk. Namun, karena satu dan lain hal, termasuk tuntutan zaman, kebiasaan serupa ini sedikit demi sedikit berubah.
Muhasibi sendiri mengaku dalam memainkan debus, musik pengiring disesuaikan dengan situasi dan kondisi. “Sebenarnya permainan kesenian kita bersendikan syariat Islam. Kita main dengan rapa’i sambil duduk. Namun, sekarang itu kita sesuaikan dengan permintaan,” paparnya.
Penyesuaian tersebut dicontohkan Muhasibi pada dirinya sendiri. “Bagi Aceh Selatan, pemain rapa’i harus ada 12 orang. Nah, persoalannya ke¬tika diminta main di luar negeri, kita mengadu ke Pemda, ternyata Pemda tidak punya biaya menda¬nai segitu. Akhirnya terpaksa disesuaikan,” ucapnya sambil mengenang keberangkatannya ke Belanda.
Karena itu, menurut Muhasibi, jika permainan debus sekarang dimainkan dengan alat musik lain, seperti musik rock yang saat ini menjadi identitas debus Bireuen, itu hal wajar. Muhasibi sendiri men¬gaku pernah main dengan diiringi musik gamelan, tradisional Jawa, saat main di Jakarta.
Namun, demikian, kata dia, perlu diingat bahwa setiap roh kesenian di Aceh mesti bersendi¬kan Islam. “Ada juga yang pakai isim (doa) hitam (black magic). Dari syair yang dibacakan syeh atau pedebus itu kita bisa tahu, dia aliran mana. Tapi, perlu diingat, kita orang Aceh, setiap syair kita mesti bernapaskan Islam,” tandasnya.
Pascakonflik dan Tsunami
Kehidupan kesenian debus di Aceh Selatan diakui Muhasibi sangat memprihatinkan. Persoalan¬nya sama seperti yang menimpa kesenian lainnya, soal komunitas dan dana. Kendati demikian, dia mengaku masih terus berusaha melestarikan kes¬enian debus tersebut sebagai salah satu seni tradis¬ionil Aceh.
“Alhamdulillah saat ini ada 57 buah sang¬gar debus yang hidup di Aceh Selatan,” sebutnya. “Waktu konflik dulu, jambo-jambo tempat latihan debus habis dibakar. Rapa’i dilempar. Sebab, waktu itu orang-orang yang memiliki keahlian debus dicap sebagai golongan pemberontak. Jadi, seniman-sen¬iman debus pun banyak yang korban, ditambah lagi musibah tsunami,” kenang Muhasibi dengan suara gemetar.
Saat ini Muhasibi masih terus membina sang¬gar-sanggar debus yang tersisa. Salah satu sanggar yang eksis sampai sekarang adalah Keumala Sakti di Indradamai, Kubanggajah.
Rasulullah Saw. bersabda :
اِجْتَنِبُواالسَّبْعَ الْمُوْ بِقَاتِ اَلشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِىْ حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاٰكِلُ الرِّبَا وَاٰكِلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَ لِّى يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْ فَ الْمُحْصَنَا تِ الْغَا فِلاَ تِ الْمُؤْ مِنَا تِ. ﴿ رواه البخار ى و مسلم. ﴾
Artinya :
Jauhilah tujuh macam dosa yang bertingkat - tingkat (besar), diantaranya ialah :
1. Mempersekutukan Allah
2. Sihir
3. Membunuh diri yang diharamkan Allah kecuali dengan hak.
4. Makan harta riba
5. Makan harta anak yatim
6. Lari dari peperangan
7. Menuduh wanita yang berimana yang tidah tahu menahu dengna perbuatan buruk dengan apa yang difitnakan kepadanya.
(HR Bukhari dan Muslim)
Seorang ulama’ Ahlul Bait Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad Shadiq merinci dasa-dosa besar sebagai berikut:
a. Pertama syirik kepada Allah swt. Tentang hal ini Allah swt berfirman, yang artinya :
“Sesungguhnya, A/lah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dike¬ hendaki-Nya”
(an Nisaa’:4S)
“… Sesungguhnya, orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga (al-Maa’idah:72)”
b. Keduaadalah ber¬putus asa dari mendapatkan rahmat Allah swt. Allah swt berfirman mengenai hal ini
“… Sesungguhnya, tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. ‘ (Yusuf: 87)”
c. Ketigaadalah merasa aman dari ancaman Allah swr. Allah swt berfirman tentang hal ini,
“… Tiadalah yang merasa aman dari azab A/lah kecua/i orang-orang yang merugi. ‘(al-A’raaf: 99)”
d. Keempat adalah berbuat durhaka kepada kedua orang tua. Karena,Allah swr menyifati orang yang berbuat durhaka kepada kedua orang tuanya sebagai orang yang jabbaar syaqiy ‘orang yang sombong lagi celaka’. Tentang hal ini Allah swt berfirrnan,
“‘Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. ‘(Maryam: 32)”
e. Kelimaadalah membunuh. Tentang hal ini Allah swt berfirman,
“‘Dan, barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya…….. ‘(an-Nisaa’: 93)”
f. Keenam adalah menuduh wanita baik-baik berbuat zina. Tentang hal ini Allah SWT berfirman,
“‘Sesunggubnya, orang-orangyang menudub wanita-wanita yang baik-¬baik, yang lengab lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akbirat, dan bagi mereka azab yang besar.’ (an-Nuur: 23)
g. Ketujuh adalah memakan riba. Tentang hal ini Allah SWT berfirman,
““Orang-orangyang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri mela¬inkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila ‘(al-Baqarah: 275)”
h. Kedelapanadalah lari dari medan pertempuran. Maksudnya, saat kaum muslimin diserang oleh musuh mereka, dan kaum muslimin maju mempertahankan diri dari serangan musuh itu, kemudian ada seorang muslim yang melarikan diri dari pertempuran itu. Tentang hal ini Allah SWT berfirman,
“‘Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau bendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesunggubnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allab, dan tempatnya ialah neraka jabannam. Dan, amat buruklab tempat kembalinya. ‘(al-Anfaal: 16)”
i. Kesembilanadalah memakan harta anak yatim. Tentang hal ini Allah SWT berfirman,
“‘Sesunggubnya, orang-orangyang memakan barta anakyatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenub perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). ‘(an-Nisaa ‘: 10)”
j. Kesepuluhadalah berbuat zina. Tentang hal ini Allah SWT berfirman,
“Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosanya, (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada bari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu… ‘(al-Furqaan: 68-69)”
Tentang menyembunyikan persaksian, adalah seperti difirmannkan oleh Allah SWT,
“Dan janganlab kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan, barangsiapa yang menyembunyikannya maka sesunggubnya ia ada¬lab orang yang berdosa batinya‘
(al-Baqarah: 283)”
k. Kesebelas adalah sumpah palsu, yaitu jika seseorang ber¬sumpah untuk melakukan sesuatu perbuatan, namun ternyata ia tidak mela¬kukan perbuatan itu. Atau, ia bersumpah tidak akan me1akukan sesuatu perbuatan, namun nyatanya ia kemudian me1akukan perbuatan itu. Tentang ha.l ini Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya, orang-orang yang menukar janji( nya ckngan) Allah dan sumpah-sumpah mereka ckngan harga yang sedikit, mereka itu tidak rnendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada han kiamat dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yangpedih. ‘ (Ali Imran: 77)”
l. Kedua belas adalah berbuat khianat (curang) atas harta ram¬pasan perang. Tentang hal ini Allah SWT berfirman,
“Barangsiapa yang berkhianat (curang) clalam urusan rampasan perang itu, maka pada han kiamat ia akan clatang membawa apa yang dikhianatkannya itu ‘(Ali Imran: 161)”
m. Ketigabelas adalah meminum khamar (minuman keras). Tentang hal ini Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya (meminum) khamar, ber1judi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan Maka,jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu men¬dapat keberuntungan (al-Maa ‘idah: 90)”
n. Keempat belas adalah meninggalkan shalat. Tentang hal ini Al¬lah SWT berfirman,
“ Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’ Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (al-Muddatstsir: 42-43)
o. Kelima belas adalah melanggar perjanjian dan memutuskan tali silaturahmi. Karena, tali silaturahmi adalah salah satu ikatan yang dipe¬rintahkan oleh Allah SWT untuk disambung. Tentang hal iniAllah SWT ber¬firman,
“(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah per¬janjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkanAllah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi. ‘(al-Baqarah: 27)”
Dengan demikian, semua perbuatan dosa tadi adalah bagian dari dosa besar, sesuai dengan keterangan nash Al-Qur’an. Dan, masing-masing dosa besar tadi mengandung hikmah, seperti yang diungkapkan oleh Ja’far Shadiq Saat ia ditanya oleh Ibnu Ubaid tentang apa itu dosa besar, Ja’farShadiq dengan percaya diri menjawabnya dengan urutan seperti tadi. Penyebutan urutan tadi pun diungkapkannya dengan tanpa perlu berpikir lama, yang menunjukkan bahwa masa1ah ini te1ah tertanam dalam otaknya, apalagi jika disadari bahwa ayat-ayat itu terdapat secara acak dalam pelbagai surah dalam A Qur’an. Sehingga, untukmenyebutkannya ia harus mengutip dan mengtip dan mengumpulkannya dari sana-sini. Hal ini juga menunjukkan bahwa ia benar-benar te1ah mendalami rahasia-rahasia kandungan Al-Qur’ an.
Posted in Ushul Fiqih. 0 Comment »
Qowaidul Khomsah
Sumber Hukum Islam ada beberapa yakni :
- Al-Qur”an
- Hadits atau Sunnah
- Ijma” Ulama
- Qiyas
dalam menetapkan ushul fiqih, maka ada beberapa kaidah yang harus diingat..
ﺍﻷﻣﻭﺭ ﺑﻣﻗﺎﺻﺩﻫﺎ
ﺍﻟﻳﻗﻳﻥ ﻻﻳﺯﺍﻝ ﺑﺎﻟﺷﻙ
ﺍﻟﻣﺷﻗﺔ ﺗﺟﻟﺏ ﺍﻟﺗﻳﺳﻳﺭ
ﺍﻟﺿﺭﺭ ﻳﺯﺍﻝ
ﺍﻟﻌﺎ ﺩﺓ ﻣﺣﻛﻣﺔ
1. Setiap Perkara itu tergantung pada niatnya
2. Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
3. Kesulitan dapat menarik kemudahan
4. Sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan
5. Adat atau kebiasaan bisa menjadi hukum
Aku penat melihat begitu
banyak darah tumpah
Melihat begitu banyak
teriakan marah
Melihat begitu banyak
nyawa terbuang sia-sia
Kehilangan bukanlah suatu keanehan
Harta, nyawa, keluarga
Bahkan kehormatan
Semua jadi mainan
Bolehkah aku bermimpi
Tentang sebuah negeri
yang bebas dari anarkhi
Penuh dengan damai dan cinta
Semua tak perlu terjadi
Bila angkara tak bersemayam di hati
Semua tak kan terjadi
Andai cinta pada sesama ada di hati
buah jambu, buah kedondong
ngerujak dooooooooonggggggg .
ada padi, ada jagung
ada singkong, ada pepaya
panen ni yeeeeeeeeeeeee!
disini gunung, disana gunung
banyak amat yah gunungnya ?
disini bingung, disana linglung
emangnya enak, enggak nyambung ...
sayur sop, sayur kacang
meking lop yok, yaaang .
buah semangka berdaun sirih
buah ajaib kali yah ?
kura-kura dalam perahu
iseng banget tuch kuya ...
jalan kaki ke pasar baru
jauh booo...
jambu merah di dinding
jangan marah, just kidding
jauh di mata, dekat di hati
jauh di hati, dekat di mata
jauh-dekat seribu dua ratus perak
makan roti pake sambel
makan telor pake garem
kalo ogut lagi kesel
mata ogut suka merem (ngapain..? nglonjor ya..?-nglamun jorse..:))..)
disini anak, disana permen
anak nangis minta' permen (beliin deh)
nemu gesper di pinggir jalan
kalo laper, makan tu gesper