Tob Dabôh; Seni Memukul Diri dari Kota Naga
“…hak teusurak ilmu taburu bisu, aku tahu asal bisu, darah pendek asal mulamu jadi, beuso itam beuso putéh, nur muhammad mulamu jadi… urat kawat tulang besi. Pantang kau makan kulitku, haram kau jilat darahku, karena kutahu asal mulamu.”
Malam itu basah. Rerintik gerimis mencium bumi, kadang tersangkut di pucuk ilalang dan dedaunan. Duabelas pemuda duduk seten¬gah melingkar di atas panggung open stage Taman Budaya Banda Aceh. Mereka mengenakan baju serba hitam yang dipadukan dengan kain sarung kuning bergaris hijau dan merah yang diikat seping¬gang. Sebagian dari pemuda duapuluh-an itu meng¬gunakan ikat kepala warna merah, sebagian lagi warna hitam. Kepala mereka oleng ke kanan dan kiri mengikuti irama rapa’i yang mereka tabuh.
Di samping paling ujung sebelah kanan, terlihat dua lelaki yang lebih tua. Satu di antaranya terlihat mengusap bilah-bilah rencong dan besi pa¬hat. Mulut lelaki itu terkatup rapat, tapi dia terlihat seperti sedang menggumamkan sesuatu bacaan. Itu terlihat dari gerak bola matanya yang sesekali nyalang, sesekali pula lembut memandang besi yang diusapnya. Sementara seorang lagi melantunkan irama ayat-ayat suci. Dia memulai ucapan dengan Bismillah, lalu salam, kemudian mengucap permo¬honan maaf kepada sejumlah orang yang menonton dari bawah panggung.
“Ini hanya sebuah kesenian, tolong izinkan kami bermain. Jangan ganggu kami. Semua yang kami lakukan di atas sini hanya dengan izin Allah,” ujar lelaki yang disapa dengan ceh dabôh itu.
Sekejap kemudian seorang lelaki mengambil dua bilah rencong yang sudah diusap si kakek, lalu menusukkannya ke paha dan tangannya sendiri. Tak ada luka, tak ada darah, tak ada rintihan, apalagi erangan. Malah sebaliknya, rencong itu bengkok, satu di antaranya patah dua.
“Bukan anak Aceh Selatan kalau tidak kebal,” pekik lelaki tadi sembari membakar sepotong kayu sebesar kelingking. Setelah kayu itu hangus hampir menjadi arang, lelaki tadi memasukkannya ke dalam mulutnya. Dia kunyah kayu yang masih membara¬kan api itu hingga halus, lalu menelannya.
Tak puas dengan adegan yang membuat jan¬tung penonton berdebar-debar, si lelaki yang disapa ceh tadi menghidupkan mesin bor. “Kita akan lihat kebesaran Allah malam ini. Saya akan bor perut saya,” ujarnya.
Mata bor berputar kencang di samping pusat si lelaki, sesekali masuk ke dalam lubang pusat. Pe¬rut lelaki itu bergoyang-goyang, namun seperti tadi, tak ada luka, apalagi darah. Sungguh menakjub¬kan. Ternyata adegan yang sulit dipercaya itu belum membuat dia puas, kendati sejumlah penonton–terutama perempuan–ada yang menutup mulut dan mata, tak tahan menyaksikan adegan tersebut.
Demikianlah sekilas pertunjukkan kesenian debus yang diperagakan sejumlah pemuda dari Aceh Selatan dalam memperingati Hari Kesenian Aceh oleh Dewan Kesenian Aceh, Agustus 2007 silam. Pertunjukkan serupa juga pernah dilakukan oleh JKMA Bumoe Teuku Cut Ali dalam Kongres II JKMA Aceh, April lalu. Rerumputan basah di lapangan bola kaki Blang Mee menjadi saksi waktu itu untuk menyatakan kesekiankalinya bahwa wilayah Barat-Selatan Aceh, terkenal dengan debus dan kebalnya.
Kemasyhuran Aceh Selatan dengan debusnya semakin terlihat dengan beberapa kali memenangi kompetisi kesenian bela diri tersebut, baik tingkat provinsi maupun tingkat nasional. Tingkat provinsi dapat dibuktikan dengan membuka kembali lemba¬ran pesta kebudayaan Aceh yang kita sebut dengan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Setiap PKA, debus dari Aceh Selatan selalu mengambil posisi teratas.
Muhasibidan Keumala Sakti
Berbicara masalah debus, kita akan teringat dengan kata “kebal”. Di Aceh Selatan, jika berbicara debus, kita akan diingatkan dengan nama Muhasibi dan Keumala Sakti. Berbicara masalah kebal, maka nama Muhasibi tak dapat dielakkan di Kota Naga itu.
Menurut pengakuan Muhasibi—ceh sekaligus pemain debus asal Kota Naga Aceh Selatan, anak Aceh Selatan pada zaman dahulu memang selalu dibekali ilmu bela diri oleh orang tuanya sebelum pergi merantau. Ilmu bela diri dimaksud bisa ber¬bentuk silat (silek dalam bahasa Aceh Selatan) atau ilmu kebal.
“Pada zaman dahulu, Anak Aceh Selatan kalau belum punya ilmu bela diri, dia tidak akan di¬izinkan orang tuanya merantau. Kalau sudah cukup umur, dia akan dibekali ilmu bela diri, meskipun sedikit, sekadar pageue tubôh untuk melindungi diri selama di perantauan,” ungkap putra Aceh Selatan itu kepada tuhoe.
Setiap anak Aceh Selatan yang hendak pergi merantau, lanjut Muhasibi, akan diseleksi terlebi¬hdahulu oleh grup rapa’i daboh. Di sana mereka dilatih, dibina, dan dibimbing. Setelah diyakini bisa melindungi diri, barulah dia diperkenankan meran¬tau.
“Sebelumnya, debus atau daboh ini diguna¬kan orang untuk berperang. Karena ada kearifan di Aceh Selatan, setiap yang merantau bisa ilmu bela diri dan kebal, timbullah imej di masyarakat luar bahwa anak Aceh Selatan banyak mistiknya, seh¬ingga penjajah pun takut masa itu,” papar Muhasibi.
Dari tradisi seperti itu, akhirnya debus men¬jadi sebuah kesenian. Pada mulanya kesenian tra¬disional ini dimainkan dengan menggunakan rapa’i dan sambil duduk. Namun, karena satu dan lain hal, termasuk tuntutan zaman, kebiasaan serupa ini sedikit demi sedikit berubah.
Muhasibi sendiri mengaku dalam memainkan debus, musik pengiring disesuaikan dengan situasi dan kondisi. “Sebenarnya permainan kesenian kita bersendikan syariat Islam. Kita main dengan rapa’i sambil duduk. Namun, sekarang itu kita sesuaikan dengan permintaan,” paparnya.
Penyesuaian tersebut dicontohkan Muhasibi pada dirinya sendiri. “Bagi Aceh Selatan, pemain rapa’i harus ada 12 orang. Nah, persoalannya ke¬tika diminta main di luar negeri, kita mengadu ke Pemda, ternyata Pemda tidak punya biaya menda¬nai segitu. Akhirnya terpaksa disesuaikan,” ucapnya sambil mengenang keberangkatannya ke Belanda.
Karena itu, menurut Muhasibi, jika permainan debus sekarang dimainkan dengan alat musik lain, seperti musik rock yang saat ini menjadi identitas debus Bireuen, itu hal wajar. Muhasibi sendiri men¬gaku pernah main dengan diiringi musik gamelan, tradisional Jawa, saat main di Jakarta.
Namun, demikian, kata dia, perlu diingat bahwa setiap roh kesenian di Aceh mesti bersendi¬kan Islam. “Ada juga yang pakai isim (doa) hitam (black magic). Dari syair yang dibacakan syeh atau pedebus itu kita bisa tahu, dia aliran mana. Tapi, perlu diingat, kita orang Aceh, setiap syair kita mesti bernapaskan Islam,” tandasnya.
Pascakonflik dan Tsunami
Kehidupan kesenian debus di Aceh Selatan diakui Muhasibi sangat memprihatinkan. Persoalan¬nya sama seperti yang menimpa kesenian lainnya, soal komunitas dan dana. Kendati demikian, dia mengaku masih terus berusaha melestarikan kes¬enian debus tersebut sebagai salah satu seni tradis¬ionil Aceh.
“Alhamdulillah saat ini ada 57 buah sang¬gar debus yang hidup di Aceh Selatan,” sebutnya. “Waktu konflik dulu, jambo-jambo tempat latihan debus habis dibakar. Rapa’i dilempar. Sebab, waktu itu orang-orang yang memiliki keahlian debus dicap sebagai golongan pemberontak. Jadi, seniman-sen¬iman debus pun banyak yang korban, ditambah lagi musibah tsunami,” kenang Muhasibi dengan suara gemetar.
Saat ini Muhasibi masih terus membina sang¬gar-sanggar debus yang tersisa. Salah satu sanggar yang eksis sampai sekarang adalah Keumala Sakti di Indradamai, Kubanggajah.

0 komentar:

Posting Komentar